Luka Karena Terabaikan

Kons Beo5
(satu perenungan adventus: menanti Tuhan yang peduli)

Oleh P. Kons Beo, SVD

“Terkadang kita berpikir bahwa kemiskinan hanyalah kelaparan, telanjang dan tunawisma. Namun, kemiskinan karena tidak diinginkan, tidak dicintai dan tidak diperhatikan adalah kemiskinan terbesar. Kita harus mulai dari rumah kita sendiri untuk mengatasi kemiskinan semacam ini” (St Bunda Teresa dari Kalkuta, 1910 – 1997)

Bacaan Lainnya

Perlakuan tak sedap dari sesama telah kita alami. Di situ, kita mudah sekali menghitung-hitung litania dosa dan kesalahan sesama terhadap kita. Dan itu berkenaan dengan kata-katanya yang tajam menusuk. Termasuk juga sikap nyata penuh congkak dan angkuh yang ditunjukannya. Di muaranya, kita mudah sekali berkesimpulan bahwa kita sebenarnya telah direndahkan oleh kata-kata dan perbuatannya itu. Selanjutnya?

Kita mudah teringat dan bahkan simpan marah dalam dendam karena kisah yang tak mengenakkan. Tidak kah relasi sosial, tali kebersamaan, ikatan kekeluargaan sering jadi kendur terurai, jadi tak kuat lagi, atau pun berbelit akibat salah kata, salah ucap, salah bahasa? Renungkanlah selanjutnya, tetapi apakah semua pengalaman penuh luka dan sakit hati itu timbul hanya karena apa yang diucapkan dan dilakukan oleh sesama? Rasanya tidak hanya demikian.

Teringat satu pernyataan, “Kita terluka tidak hanya oleh apa yang orang lakukan terhadap kita, tetapi juga oleh apa yang mereka lupa atau sengaja tak mereka lakukan kepada kita.” Yakinkah kita akan pernyataan ini? Ketidakpedulian sebenarnya telah mendera lalu lintas kehidupan yang sumpek.

Mari kembali ke pengajaran Yesus. Di perumpamaan tentang si Samaria yang murah hati (Lukas 10:25-37), Yesus kisahkan sekian kejamnya perilaku para penyamun itu. Tak hanya merampok sehabis-habisnya, mereka malah mendera si korban dan meninggalkannya dalam keadaan sekarat. Namun, perumpamaan itu tak berhenti pada adegan itu.

Sisi ketidakpedulian pada korban dilukis oleh Yesus dengan sikap seorang imam dan seorang Lewi yang, kendati telah melihat korban, masing-masing “melewatinya dari seberang jalan” (Lukas 10:31.32). Dunia memang terluka dan tersakiti, tidak hanya karena perilaku para pembinasa yang keji, tetapi juga karena sikap apatis dari ‘para orang benar, saleh, terhormat’ yang sengaja untuk ‘tidak mencegah, bersuara, atau berbuat apapun’ demi kaum tertindas dan malang itu. Padahal kaum terhormat itu sebenarnya sanggup untuk melakukan sesuatu.

Sungguh! “Ketidakpedulian adalah bentuk lain dari kekejaman.” Ketidakpedulian menyekap sesama dalam kesendirian bahkan keterasingannya. Semuanya di dalam nasib getir serba tak menentu. Kaum berpunya sekian asyik nikmati hidup penuh jaminan; yang berkuasa optimalkan segala privilese yang melancarkan segala kepentingan dan keinginannya sendiri. Sementara yang kecil, miskin, dan serba kurang dan tak pasti nasib, iya, tetap dalam keremangan hati peduli dari sesamanya itu.

Mari pulang ke keseharian. Itulah lakon hidup kebersamaan di perbagai caranya. Kita bisa terjebak dalam sloganisme ‘urus diri masing-masing, tidak urus, repot amat, bukan urusanku, emangnya gue pikirin, bikin capeh-capeh diri saja.’ Dan ingatlah, tidak kah sikap tak peduli itu kita nyatakan juga dengan ‘lihat penuh sinis atau buang muka dari orang yang tak kita sukai?’ Maka, mental ketidakpedulian segera merayap masuk dan menebal.

“Melihat dari jauh dan melewati dari seberang jalan” bisa ditangkap sebagai ‘tindak cari jalan aman.’ Di situ, masuk dan terlibat dalam keadaan miris dan minus dari apa yang tengah dialami sesama bisa menjadi ‘barang langkah.’ Keterlibatan yang dimaksud tentu adalah satu perjuangan yang memeteraikan rasa belaskasih ke dalam sikap atau tindakan nyata.

Injil bukanlah sebatas pewartaan kata-kata Kabar Gembira, tetapi Injil adalah pula kisah-kisah nyata dari sikap, perbuatan dan tindakan Yesus yang membebaskan. Kepeduliaan Tuhan lahir dari rasa penuh belaskasih. Yang sakit, lapar, haus, yang merasa kehilangan, yang disingkirkan, yang dianggap pendosa, kaum buangan dan terkucil, ‘dikumpulkan’ Yesus dalam tindakan penuh peduli.

Dari Tuhan kita renungkan kata-kataNya, “Kamu harus memberi mereka makan” (Markus 6:37). Yang amat butuhkan makanan adalah manusia yang lapar. Tetapi, imajinasikan saja ‘rasa lapar dan haus’ dalam sekian banyak ragamnya. Sekian banyak orang jadi terasing dan tak dipedulikan. Mereka terjerembab dalam situasi hidup sungguh tak menguntungkan.

Tidak kah dunia tetap memperlihatkan kumpulan besar orang-orang yang ‘lapar dan haus’ akan keadilan, kebenaran, rasa solider, serta cinta dan belaskasih? Barangkali kita mesti belajar dari keseharian yang nyata dan sungguh ‘tepat di depan mata.’

Ingatlah bahwa ‘ketidakpedulian’ dapat terungkap dalam sikap atau reaksi praktis. “Tidak baku omong, tidak lagi baku sapa, apalagi untuk saling kunjung, stop total untuk saling berkomunikasi” adalah alam yang siap melahirkan ‘suasana atau sikap ketidakapedulian.’

Kita sesungguhnya sanggup melakukan yang terbaik demi hidup dan kebaikan sesama. Sayangnya, kita sekian ‘sampai hati dan tegahnya’ membiarkan semua kesempatan indah itu berlalu. Kita biarkan momentum keselamatan itu berlalu pergi. Dan sesama tetaplah terabaikan untuk dinasibkan dalam tragedi kehidupannya.

Hari-hari dalam hidup ini adalah saat keselamatan, iya saat di mana rasa kepedulian itu dinyatakan! Ini tidak hanya berlaku terhadap diri kita sendiri bahwa banyak banyak sikap penuh peduli dari sesama yang sanggup ‘membuat kita hidup dan berpengharapan di dalam ziarah hidup.’

Tetapi, sesama pun merindukan kata-kata kita yang meneguhkan dan membesarkan hati. Sesama nantikan sikap kita yang menerima serta merangkul semua. Sesama merindukan dan terus bersabar nantikan kehadiran kita yang membawa damai dan sukacita.

Di masa Adven ini, kita semua sungguh merindukan kedatangan dan kehadiran Tuhan. Tuhan yang sungguh peduli akan seluruh diri serta keseharian yang kita alami. Itulah Tuhan yang membawa harapan, damai dan sukacita tak terkirakan. Itulah tanda cinta dan belaskasih Tuhan yang mulia dan agung.
Maka, nantikanlah Tuhan penuh harapan dan kerinduan…..

Verbo Dei Amorem Spiranti

Penulis, rohaniwan Katolik tinggal di Roma

Pos terkait