Hati yang Berbelas Kasih

IMG 20250927 WA0016

Oleh Pater John Naben, SVD

Kita semua pernah mengenal Suster Theresia dari Kalkuta – India. Dia menjadi sangat terkenal karena perhatian, cinta, belas kasih dan pengorbanannya yang sangat besar kepada orang-orang miskin dari yang paling miskin; orang-orang yang sangat menderita dari yang paling menderita; orang-orang yang terbuang yang harus mati sendirian di pinggir jalan di antara tumpukan sampah.

Bacaan Lainnya
Scroll kebawah untuk lihat konten
Ingin Punya Website? Klik Disini!!!

Suatu ketika dia berjalan-jalan di kota Kalkuta dan kebetulan dia melihat sesuatu yang bergerak di antara tumpukan sampah. Dia mendekat: ternyata ada seorang anak manusia yang tengah berjuang berhadapan dengan maut. Suster Theresa kemudian membawanya ke biara. Dirawatnya orang itu, sebelum dia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Dan sebelum meninggal, orang ini masih sempat mengatakan: ‘Saya sudah hidup seperti binatang di jalan-jalan kota Kalkuta. Sekarang saya boleh mati sebagai seorang malaikat’. Dan Suster Theresa mengatakan: ‘Betapa membahagiakan melihat orang mati dalam cinta’.

Apa yang dilukiskan ini bertentangan dengan apa yang kita baca dalam Sabda Tuhan hari ini. Nabi Amos melukiskan kemewahan hidup orang kaya pada masa itu; misalnya, tinggal di rumah mewah; berbaring di tempat tidur gading; menu daging dari hewan seperti kambing, domba, lembu yang paling tambun; diiringi musik tanpa henti dan minum anggur yang paling baik.

WeLukisan kemewahan hidup orang kaya ini juga terdapat pada orang kaya dalam Injil pada hari ini. Ada kisah tentang seorang kaya yang hidup mewah dan ada seorang miskin yang bernama Lazarus. Nama Lazarus berasal dari bahasa Ibrani yang berarti ‘Tuhan telah menolong’.

Sabda Tuhan hari ini mengajar dan mengajak kita untuk berpikir dan merenung tentang sikap hidup manusia yang tidak mau memperhatikan penderitaan orang miskin dan apa akibat yang harus ditanggungnya; bukan dalam hidup yang sekarang, tetapi nanti, sesudah manusia beralih dari hidup yang sekarang ini.

Ada seorang kaya yang hidup dalam kemewahan. Dia memakai jubah warna ungu; warna ungu menurut kebiasaan masa itu adalah salah satu pakaian kebesaran yang dipakai oleh pangeran kerajaan. Pakaian ini terbuat dari kain halus; hanya orang kaya yang bisa memiliki dan menggunakannya. Dan sebaliknya, pakaian dari bahan yang kasar adalah pakaian orang miskin atau orang sederhana.

Orang kaya itu tinggal di rumah mewah dan setiap hari dia bersukacita, berpesta dan makan enak. Didekatnya ada seorang miskin; namanya Lazarus. Dia bukan hanya miskin; badannya juga penuh luka; anjing datang menjilat lukanya. Dapat dikatakan bahwa keadaannya seperti orang-orang miskin yang sangat menderita yang berbaring di jalan-jalan kota Kalkuta.

Keadaan menjadi sangat berbeda dan terbalik sesudah keduanya meninggal. Orang kaya itu mati lalu dikubur. Sesudah itu dia harus menderita di alam maut. Satu penderitaan untuk selama-lamannya dan tidak dapat diubah lagi.

Lalu matilah juga Lazarus; si miskin itu dan dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham. Ungkapan dibawa kepangkuan Abraham adalah satu ungkapan yang dipakai oleh orang Yahudi untuk menunjukkan orang yang masuk ke dalam kebahagiaan kekal. Bagi orang kaya: kemewahan menjadi penderitaan Lazarus. Bagi orang kaya juga, penderitaan menjadi beban yang tidak diberikan oleh dunia.

Melihat hidup orang kaya ini, ada juga sesuatu yang baik, yang ada padanya. Yang pertama: sikapnya terhadap orang miskin, si Lazarus itu. Orang miskin berbaring dekat pintu rumahnya dan ingin menghilangkan rasa laparnya dengan apa yang jatuh dari meja orang kaya itu. Orang kaya itu tidak mengusir juga tidak mengusik si miskin. Ia juga tidak menyuruh orang lain mengusir atau memukulnya pergi dari pintu rumahnya. Si miskin itu dibiarkannya berbaring tenang di muka pintunya.

Kesalahan si kaya ialah dia sama sekali tidak memperhatikan orang miskin. Dia tidak menyapa ataupun mendekat. Dia keluar-masuk tanpa peduli kepadanya. Memberi muka juga pasti tidak. Hatinya tidak tergerak sedikitpun untuk berbuat sesuatu kepada si miskin Lazarus. Untuk si kaya, Lazarus tidak ada. Kalau dia mengusir, berarti dia merasa ada sesuatu yang mengganggu; apalagi badannya penuh borok. Oleh sebab itu, bagi si kaya, Lazarus tidak ada di situ. Sebab, dia melihat, tetapi dia tidak melihat dengan hati. Hatinya sudah tertutup untuk melihat penderitaan si miskin yang malang, yang duduk di pintu rumahnya.

Yang kedua: orang kaya itu masih ingat akan saudara-saudaranya yang lain. Dia minta agar bapa Abraham mengirim Lazarus ke dunia untuk memperingatkan saudara-saudaranya agar mereka bertobat dan tidak masuk ke tempat penderitaan yang sedang dia alami itu. Namun, apa yang disesalinya itu, sudah terlambat.

Ada dua hal yang dibuat oleh orang kaya untuk meringankan penderitaannya sendiri dan penderitaan saudara-saudaranya, yakni: Yang pertama: dia minta kepada bapa Abraham untuk mengizinkan Lazarus datang mendinginkan lidahnya dengan air sejuk, biar hanya dengan ujung jarinya saja. Tetapi sudah terlambat; tidak ada kemungkinan lagi. Ada jarak yang membentang, yang menghalangi, yang memisahkan antara tempat si kaya dan Lazarus, yang tak terseberangi atau tak terjembatani.

Yang kedua, Lazarus diminta untuk kembali ke dunia orang hidup untuk mengingatkan saudara-saudaranya yang lain. Apa kata Abraham: ‘Mereka ada Musa dan para nabi yang menyampaikan Firman Tuhan tetapi mereka tidak mendengarkannya. Kalau Musa dan para nabi saja ditolak, apalagi oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati, seperti Lazarus yang miskin; yang pernah mereka lihat dan kenal; mengemis dipintu rumah orang kaya – saudaranya itu. Mustahil mereka medengarnya dan bertobat.

Kesalahan orang kaya ini ialah bahwa dia tidak memperhatikan penderitaan Lazarus semasa hidupnya. Ada seorang Uskup di Perancis, bernama Martinus. Ia seorang bekas tentara, hidup pada abad ke empat. Pada suatu malam di musim dingin, dia berjalan-jalan di kota sambil menjalankan fungsi tugas ketentaraannya. Waktu itu dia sudah menjadi seorang katekumen, karena dia mau dibaptis.

Dalam perjalannya itu, Martinus melihat seorang pengemis miskin yang sangat kedinginan. Hatinya merasa tergerak untuk menolong pengemis itu. Saat berpatroli, dia tidak membawa apa-apa untuk diberikannya kepada si miskin yang malang itu. Dia lalu membagi mantolnya; sebagian dia berikan kepada si miskin dan sebagian lagi dia gunakan untuk menahan dingin malam itu.

Melihat tindakan kecil si Martinus, kita mungkin berkata: ‘Apakah tidak lebih baik diberikannya saja mantolnya itu kepada si pengemis miskin itu. Toh dia akan kembali ke rumah dan dia pasti memiliki yang baru’. Namun apa yang dilakukan si Martinus adalah sebuah pelaksanaan hidup kristiani, yaitu saling berbagi, meski dalam kekurangan.

Semangat berbagi ini juga nampak jelas dalam sebuah komunitas kecil di Cancar – Manggarai. Komunitas kecil itu dikenal dengan nama Komunitas St. Damian. Seyogianya, komunitas ini terbagi dalam dua unit; satunya di Unit Damian – Cancar dan yang satunya lagi di Unit Binongko – Labuan Bajo. Komunitas ini menghimpun orang-orang yang berkebutuhan khusus; baik anak-anak, remaja dan juga orangtua. Mereka diasuh, dibimbing, didampingi dan dilayani oleh para Suster SSpS. Mereka yang berkekurangan secara fisik, dilatih secara baik untuk saling menolong satu kepada yang lain. Mereka yang berkebutuhan khusus itu adalah orang-orang yang berkekurangan. Yang butuh perhatian dan kasih sayang. Mereka dalam kesehariannya merupakan orang-orang yang berkekurangan di mata banyak orang. Orang yang berkekurangan itu, menolong juga saudaranya yang berkekurangan; yang terbatas secara fisik, menolong juga saudaranya yang terbatas; yang lemah, menolong juga yang lemah dan yang cacat, menolong rekannya yang juga cacat. Semangat saling berbagi dari kekurangan seperti yang dibuat oleh Uskup Martinus itu, lahir, tercipta dan terungkap dalam komunitas Damian di Cancar dan di Binongko – Labuan Bajo itu. Satu injil yang hidup; satu kisah sengsara yang nyata; sebuah jalan salib yang dirayakan.

Kembali kepada Uskup Martinus tadi. Dengan memberi sebagian mantolnya, dia kedinginan dan si pengemis malang itu juga kedinginan. Engkau kedinginan, saya juga kedinginan. Kita sama-sama merasakan penderitaan yang sama. Itulah semangat hidup kristiani.

Pada waktu malam, Martinus bermimpi. Dia melihat Kristus yang memakai mantol yang diberikan kepada pengemis tadi. Dan, dia mendengar ada suara yang mengatakan, ‘apa yang kau buat untuk orang yang paling hina ini, engkau lakukan untuk Aku’. Martinus lalu dibaptis dan menjadi uskup di Perancis.

Lazarus dalam Injil, telah menjadi lambang untuk orang-orang miskin, di mana saja mereka berada. Di mana-mana ada Lazarus. Di sekitar kita atau di mana saja, dapat dikatakan bahwa tidak ada orang yang sangat menderita atau sangat miskin, seperti Lazarus. Yang kita lihat ialah adanya usaha dan perjuangan untuk hidup atau bertahan hidup. Bekerja keras di sawah, kebanyakan ibu-ibu upah harian bekerja di kebun orang, anak-anak menjual roti atau kue di terminal, ada yang berjemur sepanjang hari untuk jualan pertalite di emperan rumah dan jalan-jalan kota serta kampung. Untuk mereka ini, kita tidak berbuat banyak. Yang ada pada kita hanyalah hati untuk mengerti, memahami dan ikut merasakan apa yang diderita oleh orang yang berkekurangan secara material. Kita tidak ada banyak barang, tetapi kita ada hati untuk mengasihi sesama yang menderita.

Sebagai orang beriman kita harus memiliki satu hati, seperti yang ada pada Yesus Tuhan kita, yang mudah tergerak hatinya oleh belas kasihan kepada orang yang menderita, yang hidup dalam kekurangan atau yang sakit. Walaupun kita tidak ada kelebihan barang untuk diberikan, tetapi kita ada hati yang diberikan Tuhan untuk mengasihi dan ikut merasakan nasib orang yang malang, miskin, tersisih atau yang kurang diperhatikan.

Dalam Kitab Suci, orang-orang miskin adalah orang-orang yang dekat dengan Allah. Dan Yesus sendiri mudah tergerak hatinya oleh belas kasihan dan menyamakan diri-Nya dengan orang yang menderita. Suster Theresa dari Kalkuta menjadi sangat terkenal bukan karena dia mengeluarkan banyak biaya untuk menolong orang yang paling menderita tetapi karena punya hati yang mengasihi.

Hidup kristiani ialah semangat hidup untuk saling berbagi dengan sesama dalam kekurangan. Dan Sabda Tuhan hari ini mengingatkan kita untuk memiliki hati yang terbuka, mengasihi sesama dan bukan hati yang tertutup seperti yang dimiliki oleh Si Kaya itu. Mari belajar berbagi dari kekurangan kita, mulai dari sekarang. Tuhan memberkati.

Pos terkait