Oleh Pater Charles Beraf, SVD
Mengapa Budi? Mengapa bukan Charles yang uskup? Mengapa bukan Yohan? Mengapa bukan Sius? Mengapa bukan Joni? Bagaimana dan mengapa Budi bisa menjadi uskup?
Pertanyaan – pertanyaan ini tampaknya ‘basi’, sumbang dan kurang relevan di tengah riuh penyambutan Mgr. Paulus Budi Kleden sebagai uskup Keuskupan Agung Ende. Keriuhan pada Sabtu, 10 Agustus 2024 dari Bandar Udara Haji Aroeboesman hingga ke rumah besar (istana uskup) di Ndona seolah mengabaikan ‘lelahnya’ sang gembala dari Roma ke Ende. Bahkan sebaliknya, lambaian tangan dan berkat Uskup Budi dari mobil sunroof seakan mengobati segalanya: kerinduan plus kelelahan, dan karena itu, sudah tak pantas lagi untuk bertanya: mengapa Budi, dan bukan Charles?
Namun setiap pertanyaan, sesederhana apapun, selalu berjejak. Sebagai jejak, pertanyaan itu selalu berciri ‘menunjuk’ atau lebih tepat selalu berciri ‘mengabarkan’ sesuatu, yang mungkin tak banyak orang tahu atau peduli. Bukankah, seperti kata filosof Aristoteles, bertanya dan terus bertanya adalah suatu sikap filosofis paling mendasar untuk bisa menemukan yang sebenarnya? Bukankah, seperti pada tikus mondok, hal mengendus jejak demi jejak adalah cara terbaik untuk untuk menemukan yang terbaik, yang pokok, bukan yang remeh temeh?