Oleh Tony Kleden
Saya menulis kisah kenangan ini dengan perasaan mengharubiru. Perasaan itu muncul terutama karena sudah hampir tiga bulan saya lebih banyak berada di Waibalun, Flores Timur.
Bagi saya, dan hampir pasti bagi semua orang dari desa mana pun, desa/kelurahan tempat lahir itu seperti punya ‘kekuatan supranatural’ yang selalu menyertai di setiap jejak langkah.
Kekuatan itulah yang memompa spirit, menghembuskan ausdauer dan lalu membangkitkan ‘ike kewaat’ (semacam ‘korsa’) hingga menjadi ‘atadiken’ (orang dengan kekuatan) di mana pun berada.
Meski dirundung duka dan diselimuti rasa kehilangan, saya dengan bangga menulis kisah kenangan serba ringkas ini. Bangga sebagai orang (ata) Waibalun. Kebanggaan itu terutama juga karena nama abangku, Dr. Ignas Kleden, lahir, hidup dan berkarya menerabas batas Waibalun, menembus sekat suku, melampaui ike kewaat ata Waibalun.
Maka tulisan ini ini menjadi ungkapan kebanggaan, kekaguman dan apresiasi terhadap Ignas, yang sudah menutup mata untuk selamanya, kembali ke Tuhannya yang tidak saja disembahnya, tetapi juga Tuhan yang diimani menurut akal sehatnya.
Terus terang, secara personal saya tidak terlalu dekat dengan Ignas. Selain karena terpaut usia yang jauh sekitar 19 tahun, juga karena kami sangat jarang bertemu.

Di rumah dan di kalangan keluarga dekat, Ignas dipanggil dengan nama Ite, sapaan halus dari Piter. Nama baptisnya Ignatius Nasu Kleden. Nama Piter diambil dari nama kakeknya (dari garis keturunan mama), Petrus Gege Hadjon.






