Oleh: Gregorius Duli Langobelen
Investasi budidaya mutiara di wilayah Fores-Lembata bukanlah lagi hal baru. Signifikansi janji-janji pertumbuhan ekonominya makin hari makin tertinggal jauh di masa lalu. Dalam konteks Lembata, penting sekiranya untuk mengajukan kembali sebuah proposisi untuk merekonseptualisasi apa yang disebut sebagai semangat otonomi yang tertuang sejak dirumuskan statemen Tujuh Maret, yang mana orientasinya bukan hanya pada identitas sosilogis ataupun warisan antropologis, tetap juga terhadap kemandirian pertumbuhan ekonomi lokal.
Catatan ini dibuat untuk membantu kita melihat kembali pagaimana progres perjuangan kita, terutama apa sebenarnya yang tengah kita hadapi, terutama dalam membongkar kuasa-kuasa yang senyap atau yang diselipkan di balik kelambanan pemerintah daerah dan ketidakberdayaan masyarakat.
Kapitalisme dan Ilusi Pertumbuhan Ekonomi Lokal
Walaupun sering menjanjikan percepatan kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi, sistem ekonomi kapitalis yang sering dipraktikan para investor cenderung menginstrumentalisasi masyarakat, membuat ambruk sistem politik suatu wilayah, memarginalisasi kaum miskin, dan merusakkan lingkungan hidup (Denar, 2015). Dengan kesadaran ini, kita perlu memeriksa kembali logika pertumbuhan ekonomi atau juga paradigma perlindungan ekologis yang sering dipolitisasi pihak investor sebagai kedok atau jualan di masyarakat. Sebab, apabila kita percaya begitu saja pada kehadiran investor tambak mutiara, misalnya, yang tanpa sosialisasi, kajian strategis, terutama tanpa regulasi daerah yang tegas dan prospek yang jelas, maka kita barangkali hanya akan semakin introvert dan inferior di tanah kita sendiri, kita semakin toleran dengan biang masalah, akseptabel, tetapi sekaligus tengah membiarkan diri dicengkeram, diperbudak, dan ditunggangi kuasa modal.